Cari Blog Ini

Jumat, 18 Juni 2010

MELIHAT ALLAH

MELIHAT ALLAH Gempa-Tsunami, gempa, gempa, dan gempa..., tanah longsor dan amblas, banjir, kebakaran hutan dan harta benda, serta berbagai bencana lainnya seperti begitu akrabnya dengan bangsa kita ditahun-tahun belakangan ini. Lalu ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu jiwa telah terenggut dan tercabik dari kehidupan, MATI. Tak terhitung pula jumlah tubuh yang terluka, tulang yang patah, dan kulit menganga yang berdarah-darah...!. Teriakan minta tolong, histeris ketakutan, rintihan kesakitan meluncur dari bibir-bibir pucat kebiruan. Ribuan pasang mata mencari dan mencari sanak saudaranya dengan asa membahana. Mana anakku sibiran tulang?, dimanakah gerangan ibu dan bapakku?. Saudaraku-saudaraku bagaimana?. Duhai aku harus bertanya kepada siapa?.
Sejuta tanya menyeruak dalam benak kita. Ada apa ini ?. Kenapa ini bisa terjadi?.
Maka kemudian bermunculanlah berbagai analisa dan argumen dari bibir-bibir sombong kita, seakan kita tahu untuk menakar pikiran Allah. Bahwa semua itu adalah azab, hukuman dan cobaan Allah terhadap manusia-manusia yang durhaka kepada Allah. Dari mimbar khotbah jum’at, ceramah-cermah dan tulisan-tulisan, khatib-khatib dan da’i-da’i segera saja dengan semangat 45 membombardir otak kita dengan berbagai ungkapan seakan-akan kita ini adalah orang-orang pesakitan yang sedang duduk kecut didepan hakim yang sedang membentak-bentak kita. Kamu salah..., kamu durhaka..., kamu makan harta anak yatim..., kamu makan harta haram..., kamu melakukan yang tidak kamu ketahui..., kamu melakukan bid’ah..., kamu durhaka kepada orag tua..., kamu..., kamu...!. Sehingga pulang-pulang otak kita dibuat nanar dan nelangsa...
Misalnya, gempa yang terjadi di Sumbar baru-baru ini dengan gagah berani ada yang menggatuk-gatukkannya untuk disesuai dengan surat 17: ayat 16, karena gempa tersebut bertepatan dengan jam 17:16.
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta'ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."
Kemudian karena ada gempa susulan pada jam 17:38, maka itu kemudian ada pula orang yang berani menghubungkannya dengan surat 17: ayat 38. Gempa itu seakan terjadi karena mereka telah mengerjakan hal-hal seperti berikut:
17;22 : Syirik
17;23 : durhaka pada orang tua
17;26 : Boros, hak fakir miskin
17;31 : membunuh anak karena takut msikin
17;32 : Berzina
17;33 : Membunuh
17;34 : makan harta anak yatim
17;36 : mengikuti yg tdk diketahui
17;37 : sombong
Dimana "Semua kejahatan itu amat dibenci di sisi Tuhanmu”, sehingga menurut mereka, Allah perlu turun tangan untuk menurunkan gempa lagi pada jam 17:38.
Dan kemudian disusul dengan gempa di Jambi pada jam 08:52 yang oleh orang telah dikaitkan pula dengan surat 8: ayat 52. "(keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutny a serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi amat keras siksaan-Nya. " Entah sesuai dengan ayat mana lagi gempa-gempa susulan lain yang terjadi setelah itu.
Semuanya itu seakan-akan mengarah kepada suasana betapa pedihnya siksaan Allah terhadap manusia-manusia yang penuh dosa dan durhaka, serta pada orang-orang yang kurang ibadahnya dan kepatuhannya kepada Allah. Benar-benar terpuruk perasaan kita dibuatnya. Banyak pula kita yang bertanya-tanya didalam hati, bahwa tidakkah selama ini bangsa kita ini dikenal sebagai bangsa yang begitu kental dengan nuansa hidup beragamanya?. Bangsa yang begitu kental imannya kepada Allah?. Bangsa yang begitu rajin bergerak dari satu ibadah keibadah lainnya. Lalu kenapa bencana ini masih datang datang juga menjambangi bangsa ini seperti tiada hentinya?..
Dengan segala rasa takut seperti itu, kita seperti menumpuk dan menumpuk terus rasa takut kita kepada Allah dari waktu ke waktu. Tanpa kita sadari kita tambah memperkuat memori-memori lama kita tentang Allah yang telah diajarkan kepada kita dari tahun ketahun. Bahwa Allah akan menyiksa kita akibat dosa dan kedurhakaan kita kepada-Nya. Kita tarok didalam memori kita sosok Allah yang keras siksanya terhadap dosa-dosa kita. Allah yang tak kenal ampun terhadap kekeliruan-kekeliruan kita. Walaupun kita selalu dikenalkan dan selalu pula membaca tentang Ar Rahman, Ar Rahim, kemahapengasih dan kemahapenyayangan Allah, namun selalu saja sosok Angker Allah lah yang lebih dominan yang muncul didalam benak kita.
Hasilnya adalah, jangankan kita bisa merasa dekat dengan Allah, malah rasa jauh kita dari Allah yang muncul semakin kental. Kita menjadi tidak nyaman dalam keseharian kita karena ada rasa takut yang hebat tersimpan didalam dada kita terhadap Allah. Begitu mendengar nama Allah disebut, yang terpancar diraut wajah kita adalah rona ketegangan dan kecemasan. Karena kata TAQWA kepada Allah selama ini memang diartikan sebagai TAKUT kepada Allah. Saat mau melaksanakan ibadahpun, kita berada dalam suasana tegang dan cemas terus. Sehingga wajar saja kalau kita ini inginnya selalu menghindar dari Allah, walau otak kita penuh dengan suruhan dan perintah agar kita selalu mau mendekat ke Allah.
Peristiwa menjauhnya kita dari Allah ini nyaris sama dengan keadaan saat kita diperkenalkan kepada pimpinan kita bahwa pimpinan kita itu galak, pemarah, dan keras hukumannya, maka kita jadi takut untuk bertemu dengan pimpinan kita itu. Kalau seorang atasan dikantor terkenal sebagai seorang pemarah, maka anak buahnya akan malas untuk bertemu dengannya. Jangankan bertemu, melangkah kearah ruangannya saja si anak buah tidak akan mau. Kakinya gemetar ketakutan. Ada barrier psikologis yang tercipta antara si atasan dengan bawahannya.
Hal yang sama terjadi ketika kita ditakut-takuti bahwa di sebuah rumah tua ada hantunya, maka secara psikologis kita ingin menghindar dari rumah itu, walau secara intelektual kita mengatakan bahwa kita tidak takut untuk pergi kerumah itu. Tapi secara psikologis rasa takut kita itu akan tertanam kuat di dalam memori kita yang terdalam. Tanda dari rasa takut itu adalah saat kita menghampiri rumah itu bulu roma kita sedikit merinding. Ada penolakan yang kuat dari dalam perasaan kita untuk mendekat kesana. Kita terjauhkan dari rumah itu.
Begitulah kita ini dengan Allah selama ini. Walaupun kita tahu ayat al Qur’an yang berkata bahwa Allah sangatlah Akrab (dekat sekali dengan kita), bahkan lebih akrab daripada keakraban kita dengan urat leher kita, namun perasaan kita sangatlah berjauhan dari Allah. Ditambah lagi keyakinan bahwa kita hanya bisa bertemu Allah hanya diakhirat kelak, maka sempurnalah perasaan jauh kita dari Allah itu. Allah terasa begitu jauh dari kita. Saat shalat menyembah-Nya sekalipun rasa jauh itu begitu kentara, sehingga kita bisa begitu seenaknya dalam shalat, apalagi dalam keseharian kita. Kita bisa berbuat seenaknya saja, seperti tidak ada siapa-siapa yang memperhatikan kita.
Padahal kita tahu dan hafal sekali Hadist yang berkenaan dengan IHSAN. Bahwa ihsan itu adalah kita saat melakukan ibadah kita menyadari seakan-akan kita melihat Allah, kalau tidak bisa seperti itu, sadari saja bahwa Allah melihat kita. Lalu kita malah terjebak sendiri dengan kata-kata seakan-akan itu. Kita merasa bahwa kita memang hanya seakan-akan saja melihat Allah itu, pura-pura saja. Ah..., sudah berapa lamakah kita hidup dalam kepura-puraan seperti ini?..
Hadist diatas sebenarnya dulu itu ditujukan Nabi kepada seseorang yang shalatnya menoleh kekiri dan kanan seakan-akan dia tidak punya objek fikir yang jelas dalam shalatnya. Nabi merasa aneh dengan dia, kok bisa dia shalat seakan-akan seperti orang yang tidak melihat Allah sedikitpun. Lalu Nabi menasehatinya agar dia shalat dengan kesadaran bahwa dia saat itu seakan-akan sedang melihat Allah. Lalu Nabi menunjukkan Wajah Allah kepadanya. “INI Allah...”, kata Beliau. Orang tersebut kemudian mencobanya dengan tertatih-tatih, sehingga Beliaupun menghiburnya: “kalau saat ini engkau masih belum bisa dengan kesadaran bahwa engkau seakan-akan sedang melihat Allah dalam shalatmu, sadari saja bahwa Allah sedang melihatmu”.
Jadi Rasulullah itu mengajari umat saat itu bukanlah dengan kata-kata, bukan dengan sekedar nasehat dimulut saja, Bukan...!. Tetapi Beliau menunjukkan kepada umat Beliau tentang arah pikirnya, mengantarkan perjalanan rohaninya, dan kemudian mendudukkan kesadarannya sehingga selaras dan seirama dengan duduknya rohani dan kesadaran Beliau dihadapan Allah.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi gempa bumi dan bencana yang susul menyusul di bumi Indonesia ini?. Disini saya akan mencoba menyajikan salah satu alternatif cara berfikir yang mungkin bisa kita pakai. Alternatif saja sebenarnya.
Mari kita lihat ayat Al qur’an yang memberikan pelajaran dasar yang sangat mencengangkan tentang seluk beluk kejadian gempa bumi hebat dipermukaan bumi ini. Al qur’an juga menceritakan tentang bagaimana pula cara bumi ini menceritakan sejarah aktifitas (AF’AL) Allah disetiap milimeter permukaannya. Ayatnya sering kita baca dalam shalat, tapi kita jarang sampai berada pada posisi jiwa dimana kita semakin melihat Allah dengan Nyata.
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. (Al Zalzalah 1-5)
Para ahli geologi telah berhasil membuka tirai bumi ini lapis demi lapis. Kita diberi tahu bahwa bumi ini terdiri dari berbagai lempengan kerak bumi yang membungkus lelehan bebatuan bersuhu super panas yang berada diintinya. Lempengan-lempengan kerak bumi itu saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Rotasi bumi pada sumbunya, telah menyebabkan pula lempengan kerak bumi itu bergerak keberbagai arah dengan kecepatan tertentu.
Menurut sebuah tulisan sdr. andhy di Web Badan Geologi, “...Tataan geologi wilayah Indonesia saat ini terjadi sebagai akibat interaksi 3 lempeng utama dunia, yaitu Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah barat-baratlaut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun, Lempeng Samudra India-Benua Australia (Indo-Australia) yang bergerak ke utara-timurlaut dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun, serta Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, namun resultante sistem kinematiknya menunjukkan gerakan ke arah baratdaya dengan kecepatan mencapai 13 cm per tahun.
Hasil interaksi lempeng-lempeng tersebut menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa geologi, salah satunya kegiatan magmatik dan terbentuknya zona-zona kegempaan dengan intensitas tinggi. Selain dikarenakan pergerakan antar lempeng, terjadinya gempa juga berkaitan dengan keberadaan sesar aktif yang membentang di beberapa wilayah, di antaranya sesar Sumatera, sesar Palu, sesar di Papua, atau sesar yang lebih kecil seperti sesar Cimandiri, Jawa Barat...”. Jadi pulau-pulau di Indonesia ini, minus kalimantan, memang berada dalam wilayah yang akan sering dilanda oleh peristiwa gempa bumi dan letusan gunung berapi. Sunatullahnya sudah begitu.
Pada titik-titik pertemuan dimana pergerakan lempengan itu berlawanan arah, tersimpan energi yang luar biasa besarnya. Energi itu terakumulasi selama puluhan sampai dengan ratusan tahun. Energi yang terkumpul dititik pertemuan lempengan bumi yang saling bergerak ini, ditambah dengan tekanan energi magma panas diperut bumi ini diindikasikan oleh Al Qur’an sebagai beban berat yang dikandung bumi, yang kalau tidak dilepaskan akan mempengaruhi kestabilan bumi ini secara keseluruhan. Beban berat ini haruslah lepas. Peristiwa pelepasan beban bumi yang sangat berat itu dikenal sebagai peristiwa gempa bumi atau meletusnya gunung berapi.
Al Qur’an sudah memberitahu kita bahwa goncangan pelepasan bebat berat bumi itu sangatlah dahsyat, sehingga umat manusia akan saling bertanya-tanya kebingungan: kenapa ini...?, ada apa ini...?. Akan tetapi ada diantara umat manusia ini yang tidak bingung. Mereka berhasil membaca bumi yang sedang menceritakan beritanya kepada seluruh umat manusia, bahwa sang bumi hanyalah sekedar mematuhi perintah Dzat Yang memerintahkan yang sedemikan itu kepadanya.
Berita apa yang disampaikan oleh bumi?.
Ternyata dari berbagai bentuk dan ukuran lapisan patahan lempengen bumi itu, para ahli geologi (bukan kita atau kebanyakan para ustadz dan ulama yang hafal surat Al Zalzalah) telah berhasil membaca bahasa bumi. Mereka diberi tahu oleh bumi itu sendiri bahwa disana juga pernah terjadi gempa bumi hebat beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu. Bumi juga bercerita tentang berapa centimeter dia diperintahkan oleh Allah untuk bergerak selama waktu tertentu. Berapa energi yang tersimpan diperutnya sehingga bisa menimbulkan gempa berkekuatan sekian skala Richter.
Bumi juga bercerita dengan sangat detail bahwa kalau gempa yang terjadi berukuran lebih dari 7,5 richter dilautan, maka ada kemungkinan terjadi tsunami seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 yang lalu. Bangunan-bangunan yang dibangun TIDAK sesuai dengan fitrah untuk tempat yang sering dilanda gempa pastilah akan runtuh dan roboh, seperti yang baru saja terjadi di Tasikmalaya, Padang, dan Pariaman.
Bumi memperlihatkan dengan nyata bahwa bangunan yang rubuh saat gempa itu umumnya adalah bangunan yang tidak memperhitungkan faktor gempa pada saat dibangun dulu. Tiang-tiang dan dindingnya tidak kokoh. Akibatnya korban jiwa manusia akibat bangunan yang runtuh itu juga adalah sesuatu yang sangat fitrah saja, seperti fitrahnya manusi-manusia berguguran disapu oleh gelombang tsunami. Cuma saja kita tidak pernah tahu jiwa siapa berikutnya yang akan menjadi korban tsunami atau bangunan yang runtuh akibat gempa itu.
Demikianlah sebenarnya bumi, yang sesuai dengan perintah Allah kepadanya, telah bercerita kepada seluruh umat manusia tentang karekateristiknya dengan sangat jelas dan tanpa ditutup-tutupi sedikitpun. Cuma saja, ternyat yang bisa membaca bahasa bumi itu dengan rinci adalah orang-orang Jepang. Mereka lalu menyiapkan bangunan-bangunan yang bisa menahan gempa berkekuatan 9 Skala Richter atau lebih. Tanggul-tanggul dan alat peringatan dini tsunami mereka siapkan. Persiapan menghadapi gempa dan pertolongan pasca gempa juga mereka siapkan dengan teliti. Mereka seperti bersahabat dengan gempa, walau gempa itu menakutkan.
Mereka berlatih pada waktu-waktu tertentu untuk menyiapkan warganya menghadapi bencana terburuk. Begitu gempa terjadi, dan beberapa tempat hancur berantakan, dengan semangat bushido mereka kembali membangun gedung-gedung dan sarana umum dengan kualitas yang lebih baik. Dana untuk itupun keluar dengan mudah dari kantong warga mereka dan kantong pemerintahnya yang memang sudah dipersiapkan untuk itu.
Pada tananan manusia, masyarakat Jepang itu telah berhasil membangun budaya yang tidak mudah menyerah terhadap perilaku bumi seperti yang dilakukan oleh sekumpulan semut yang selalu membangun sarangnya walaupun sarangnya itu berkali-kali pula dihancurkan oleh manusia atau binatang lainnya. Sedangkan pada tatanan Allah, biarlah Allah sendiri yang akan menilai iman bangsa Jepang itu kepada Allah. Sebab kita tidak sedikitpun punya kapasitas untuk menilainya, kecuali hanya sekedar menduga-duganya saja...
Sekarang mari kita amati bangsa kita sendiri. Sudahkah bangsa kita ini menyiapkan diri untuk bisa hidup diwilayah yang sering dan akan sering dilalui oleh gempa bumi seperti orang Jepang?. Kalau tidak maka jangan salahkan siapa-siapa. Salahkanlah diri kita sendiri. Karena kita tidak mau mendengarkan bumi yang sedang menceritakan beritanya.
Janganlah pula kita terlalu bersemangat untuk meletakkan peristiwa gempa bumi sebagai bentuk hukuman Allah atas dosa-dosa orang-orang yang wilayahnya dilanda gempa. Seakan-akan Allah sedang marah kepada orang-orang Tasikmalaya, Padang, dan Pariaman karena dosa dan kedurhakaan mereka seperti yang dilansir oleh beberapa orang seperti diatas. Pintar benar kita ini menilai orang lain, seakan-akan kita yang tidak dilewati oleh gempa ini merasa telah menjadi orang-orang yang bersih dari kedurhakaan dan dosa kepada Allah. Biasanya sebagian besar para ustadz akan sangat mudah melemparkan kalimat-kalimat bahwa orang di Aceh, Sumbar, Tasikmalaya, dan wilayah lainnya yang hancur dan luluh lantak dilanda gempa berikut akibat lanjutannya adalah orang-orang yang sedang dihukum Allah seperti juga dulu terjadi pada umat-umat lain dahulu kala. Ah berani sekali memang kita ini menakar pikiran Tuhan...
Padahal kita sangat hafal ayat dengan ayat: “Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri...(an Nisaa’ 79)”. Peristiwa gempa adalah satu hal lain, sedangkan timbulnya bencana akibat gempa itu adalah hal yang lain pula. Gempa adalah peristiwa sunatullah yang memang sudah dirancang oleh Allah untuk menstabilkan atau mengokohkan bumi ini. Sedangkan bencana runtuhnya bangunan rumah atau kantor adalah sebuah sunatullah lain yang juga terjadi tatkala kita TIDAK mampu menyesuaikan design bangunan rumah dan kantor kita dengan karakter wilayah yang sering dilanda oleh gempa. Runtuhnya bangunan dan kantor itu adalah faktor KESALAHAN KITA sendiri. Karena kita tidak patuh kepada bahasa bumi yang sebenarnya adalah Allah sendiri yang sedang berbicara melalui bahasa alam. Jadi janganlah katakan bahwa hancurnya rumah dan kantor kita itu adalah atas kehendak Allah. Tidak..., Itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena kitanya sendiri yang tidak patuh kepada sunatullah untuk hidup diwilayah yang penuh dengan kemungkinan gempa. Rumah itu hanya sekedar patuh kepada sunatullah saja.
Sedangkan korban nyawa dalam peristiwa gempa bumi itu adalah sebuah misteri lain yang tidak bisa kita takar sedikitpun. Saya sungguh tidak berani mengatakan bahwa nyawa-nyawa yang diambil Allah saat peristiwa gempa bumi itu terjadi adalah karena mereka telah dihukum oleh Allah karena dosa dan kedurhakaan mereka sendiri. Ahh..., betapa gegabahnya kita ini untuk berani-beraninya mengatakan sesuatu yang tidak kita ketahui.
Lalu kenapa saya tidak masukkan ayat 6, 7, dan 8 dalam pembahasan ini, karena saya khawatir akan munculnya fitnah dibelakang hari. Sebab saya melihat ada perbedaan yang sangat besar antara terjemahan perkalimat yang beredar dimasyarakat saat ini dengan terjemahan perkata yang baru saja saya miliki. Terutama diayat 6. Seperti berikut ini:
Setelah Al Qur’an bercerita tentang peristiwa gempa hebat, goncangan bumi akibat bumi mengeluarkan beban-beban beratnya, dan manusia bertanya-tanya tentang kejadian itu, bumi telah menceritakan beritanya seperti yang diperintahkan oleh Allah seperti yang dibahas diatas, lalu ayat 6 menerangkan hal-hal berikut ini:
Versi Terjemahan perkalimat : Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua amal-amal perbuatannya.
Versi Terjemahan perkata : Pada hari itu akan pergi (ketempat-tempat penghitungan amal) manusia (dalam) berkelompok-kelompok untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) amal-amal mereka (syurga/neraka).
Note: Saya sengaja mencoret kalimat-kalimat didalam kurung ini, karena ini menurut saya adalah tafsir tambahan dari penerjemahnya saja.
Entah kenapa terjemahan perkalimat diatas dan terjemahan-terjemahan umum lainnya yang beredar dimasyarakat selalu saja menggiring pikiran kita ke masa depan yang sangat panjang, yaitu ke hari kiamat kelak dimana manusia keluar dari kuburnya berkelompok-kelompok???. Entahlah.
Sehingga dengan begitu, ayat 7 dan 8 berikutnya selalu saja harus kita pahami dalam koridor waktu keakhiratan. Bahwa amal-amal kita di dunia ini nanti diakhirat akan kita terima balasannya sampai ke yang sekecil-kecilnya. Kebaikan terkecil yang kita lakukan didunia ini nanti akan kita terima balasannya kelak diakhirat, seperti juga kejahatan sekecil apapun yang kita lakukan.
Akhirnya kita lupa untuk pergi berkelompok-kelompok untuk menebarkan amal kebaikan kita pada saat ini juga (NOW) ketika gempa itu tengah terjadi. Padahal dalam ayat 7: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya”, boleh jadi Allah sedang meminta kita untuk menilai diri kita sendiri apakah saat ini kita sudah menebar amal baik untuk korban bencana gempa itu?. Karena kita dengan mudah bisa menilai diri kita sendiri tentang amal-amal yang telah kita lakukan saat ini. Mudah sekali.
Jangan-jangan kita ini baru berada pada tingkat pelaksanaan amal keburukan, berupa tidak berbuat apa-apanya kita untuk sesama. Kita kalah amal dengan relawan-relawan yang datang dari berbagai kelompok yang tiba-tiba saja begitu menjamur berdatangan untuk membantu korban-korban gempa itu. Bahkan bangsa-bangsa lain juga tak kalah sigapnya datang kewilayah bencana untuk membantu sesama. Kita mungkin juga kalah amal dengan saudara-saudara kita yang dengan semangat 45 merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membantu dana buat korban gempa yang memang sedang mengalami kesusahan hidup.
Kalau nanti diakhirat, apapun yang kita pikirkan sekarang pastilah tidak sama dengan kejadian yang sebenarnya kelak. Tapi anehnya kita makah lebih banyak bercerita tentang akhirat yang entah kapan terjadinya itu dari pada berbuat yang terbaik didunia SAAT INI. Sehingga akibatnya kitapun tidak dapat menangkap makna hakiki dari sebuah gempa...
Bahwa sebenarnya saat gempa, saat gunung meletus, saat bumi bergoncang, bahkan saat nyawa-nyawa berguguran, saat itu pulalah seyogyanya orang beriman akan melihat Allah lebih nyata dari sebelumnya. Musa melihat Allah saat Bukit Thursina hancur luluh lantak tatkala Allah bertajjali. Orang-orang beriman tidak akan melihat ke peristiwa gunung meletus, tidak akan melihat ke peristiwa gempa, tidak akan melihat ke peristiwa tsunami, tidak akan melihat ke peristiwa ribuan tubuh berguguran saat semua itu terjadi. Karena saat itulah orang-orang beriman tengah tercekam melihat Wujud Yang Maha meliputi segala sesuatu, yatu Allah, yang sedang memerintahkan bumi menceritakan beritanya seperti yang diperintahkan-Nya kepada bumi.
Saat itu, orang-orang beriman juga tidak akan melihat kepada orang lain, dia tidak akan menilai amalan orang, dia tidak akan menunjuk dosa orang lain, dia tidak akan menuduh orang lain durhaka. Karena saat itu si orang beriman tengah melihat Allah yang sedang bertajalli kepadanya. Lalu si orang beriman itu tidak sempat untuk berpikir dan berpesepsi sedikitpun tentang kejadian itu (pingsan dalam istilah al qur’an), kecuali dia hanya sujud dan merendah kepada Wajah Sang Maha Meliputi. Dia tidak takut dan khawatir sedikitpun dengan semua kejadian itu. Dan setelah itu si beriman langsung menilai seberapa besar amalan atau kerja nyata yang telah dikerjakannya dari hari kehari untuk membantu korban yang berjatuhan.
Kalaulah tidak begini, maka Allah hanya bertanya dengan sangat sederhana kepada kita semua: Fabiayyiaala irabbikuma tukazziban...?. Entah dengan cara apa lagi Allah harus memperingatkan kita ini agar kita mau dengan sukarela takluk kepada-Nya. Agar kita tidak mampu untuk mengaku-ngaku lagi. Agar kita mau berperilaku sebagai seorang hamba Allah, pesuruh Allah, wakil Allah, alat Allah untuk mendistribusikan kebaikan-kebaikan yang ingin ditebarkan Allah dimuka bumi ini... Dan sebagai jawabannya, lihatlah di suanana dada kita sendiri-sendiri...

Wassalam
Deka...

1 komentar: