Cari Blog Ini

Jumat, 18 Juni 2010

SAYA TIDAK TAHU

Artikel Bpk sangat menarik sekali ....mengenai celupanNya. Bahwa kita ini ibarat wayang ....
Ada satu soal lain yang masih menarik perhatian saya, yaitu masalah reinkarnasi. Saya sudah mendengar keterangan dari teman2 di mailist Caraka, tapi rasa keingintahuan saya masih belum terpenuhi. Sudilah kiranya agar Bpk menjelaskan hal tersebut kepada saya.
Sebelumnya saya jelaskan dulu apa yg saat ini saya ketahui (berdasar ilmu tasawuf) :
Bahwa manusia itu terdiri dari 4 unsur : Raga, Jiwa, Sukma, Nyawa/Ruh
1. Raga >>> makanannya adalah apa2 yg kita makan sehari-hari.
2. Jiwa >>> makanannya adalah perbuatan baik
3. Sukma >>> makanannya adalah kalimat tauhid. Ada yang bilang bahwa Sukma = kekuatan berpikir dari jiwa yang letaknya di hati, sedangkan Akal = kekuatan berpikir dari jiwa yang letaknya di otak. Dan ada yg bilang bahwa SUKMA ini adalah inti/hakikat/pribadi manusia.
4. Ruh/Nyawa, Ada 2 ruh di manusia yaitu ruh hayati dan ruh Tuhan.
Ruh Hayati >>> selalu ber-regenerasi
Ruh Tuhan >>> selalu ingin kembali padaNya
Yang menjadi pertanyaan saya :
Apabila kita meninggal ...... :
1. Apakah Ruh Hayati itu akan meregenerasi ....artinya tumimbal lahir .....tempatnya selalu di dunia ?
2. Apakah Ruh Tuhan itu akan selalu kembali kepadaNya ?.
3. Apakah yang dimaksud kehidupan di akhirat ? Apakah kehidupan akhirat tersebut berbeda dari kehidupan di alam 'adam (tdk tahu apa-apa) dan juga berbeda dengan kehidupan dunia ini ?
4. Apakah yang menerima balasan perbuatan baik dan buruk kita itu adalah Sukma ? Atau emang nggak ada yang namanya pembalasan ?
Terima Kasih ...Mohon penjelasannya, semoga bermanfaat … Amien
Jawaban:
Mas Tyas, sebelum saya menjawabnya mohon saya diberi masukan dulu seperti apa yang namanya konsep reinkarnasi itu. Karena saya agak awam dengan konsep reinkarnasi ini. Nanti kalau konsep itu sudah saya dapatkan gambarannya, akan saya coba kupas dengan apa-apa yang saya PAHAMI.
Sedangkan penjelasan saya tentang manusia, saya sudah uraikan sebatas yang saya tahu pada artikel KESADARAN SEJATI 1 s/d 4.
Pada bagian itu sudah saya kupas bahwa hakekatnya pada makhluk yang disebut dengan manusia itu hanya ada DUA WUJUD.
Wujud pertama adalah Min sulatin min Tin, yaitu wujud berupa unsur-unsur yang terbentuk dari SARIPATI TANAH, dimana saripati tanah itu sudah diberikan berbagai kecenderungan oleh Allah. Dalam ilmu pengetahuan modern, saripati tanah ini bisa disebut juga sebagai unsur-unsur kimiawi seperti KARBON, OKSIGEN, dan unsur-unsur kimia tanah lainnya. Akan tetapi walaupun unsur-unsur itu bisa di ketahui dengan pasti melalui teknik biologi molekuler dan teknik-teknik biologi dan kimia lainnya, andaikan ada manusia ingin coba-coba meracik unsur-unsur itu menyerupai susunan tubuh manusia, maka saya kok sangat yakin bahwa itu nggak akan pernah bisa sampai sempurna menjadi tubuh manusia. Dalam istilah agama Islam tubuh dari saripati tanah ini disebut sebagai NAFS (DIRI)
Wujud ke dua adalah "sesuatu" yang disebut Allah sebagai RUH-KU (MIN-RUHI). Atau dalam istilah umum disebut saja sebagai RUH.
Ya..., HANYA 2 WUJUD inilah, yaitu NAFS dan RUH, yang saling berinteraksi pada makhluk yang disebut sebagai MANUSIA.
Bagaimana interaksi kedua wujud ini....?. Mari kita bahas sedikit.
Sejak awal yang tiada awal, ada SEBUAH WUJUD TUNGGAL YANG MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU, SANG MUHITH (Sang Maha Meliputi). Pada Sang Muhith itu ada segala sesuatunya. Karena memang Dia adalah Sumber dari segala sesuatu. Pada wujud Tunggal itu ada Mendengar, ada Melihat, ada Gerak, ada Hidup, ada Tahu. Yaa..., pada Sang Muhith itu ada SERIBU ADA, bahkan disitu ada SEJUTA ADA. PASTI itu....!!!.
Pada Sang Muhith itu ada KEHENDAK. Dia berkehendak dengan sendiri-Nya. Wujud itu bergerak dengan sendiri-Nya. Wujud itu dengan kehendak-Nya menggerakkan unsur-unsur tanah, meracik komposisi unsur-unsur tanah dengan irama dan kecepatan yang sangat presisi sehingga terciptalah sebuah bentuk aneh yang tidak sama dengan unsur-unsur pembentuknya. Bentuk aneh itu belumlah bisa apa-apa. Sang Muhith lalu memberi tahu sendiri bahwa bentuk aneh itu adalah sebuah diri (NAFS) yang bakal menjadi wakil bagi Sang Muhith untuk membuat "keramaian" di alam semesta yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
Sang NAFS itu pada dasarnya adalah sebuah benda diam, benda tidak tahu, benda tidak bergerak, benda tidak hidup, benda tidak melihat, benda tidak mendengar, benda tidak berfikir, benda dengan SERIBU TIDAK lainnya. Kondisi ini tak ubahnya seperti seonggok wayang yang disimpan di dalam kotak penyimpanannya. Wayang itu belumlah disebut sebagai wayang. Saat di dalam kotak itu yang ada barulah wayang-wayangan. Ada wayang-wayangan yang pada saatnya nanti akan menjalani peran sebagai "GATOT KACA", ada yang akan berperan sebagai BIMA, sebagai ARJUNA, sebagai PUNAKAWAN, dan berbagai peran-peran lainnya.
Sang NAFS itu sekarang semata-mata SANGAT tergantung kepada Kehendak Sang MAHA MELIPUTI, Sang Muhith. SANG NAFS semata-mata hanya BERSANDAR kepada SANG MUHITH. SANG NAFS terlelap dalam RENGKUHAN TANGAN SANG MUHITH. PASRAH. Sang Muhith lalu berkendak dengan sendiri-Nya mengalirkan hidup, mengalirkan mendengar, mengalirkan melihat, mengalirkan tahu, mengalirkan gerak, mengalirkan berfikir, mengalirkan bisa, bahkan mengalirkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjalani peran yang telah dirancang demikian rupa kepada Sang Nafs yang tergolek pasrah dalam rengkuhan Sang Muhith. Proses mengalirnya FASILITAS Sang Muhith kepada Sang Nafs ini dalam istilah Al Qur'an disebut sebagai proses DITIUPKANNYA RUH-KU (MIN-RUHI) kepada Sang Nafs, sehingga Sang NAFS lalu menjadi BISA mengaku-aku. Ya..., Sang Nafs diberi fasilitas dan kenikmatan untuk mengaku. Proses berubahnya keadaan Sang Nafs yang pada awalnya punya SERIBU TIDAK lalu berubah menjadi “seperti” punya SERIBU BISA ini disebut juga sebagai proses CELUPAN ALLAH (Shibghatullah) terhadap Sang Nafs, sehingga Sang Nafs bisa mengaku.
Ya…, Sang Nafs MENGAKU…
Saya bisa hidup, sehingga saya bisa bergerak
Hee..., saya juga bisa melihat,
Wah..., saya bisa mendengar,
Weleh-weleh saya bisa tahu, sehingga saya bisa berfikir, dan merasa,
Ups..., saya juga bisa mencipta, menghancurkan, menyusun bentuk-bentuk,
Wow..., saya bisa berperan...,
Hee..., saya Gatot Kaca, saya Bima..., saya Arjuna, saya Punakawan, saya Yusdeka, saya..., saya..., saya seribu Nama dan peran saling mengaku....!!!.
Ya..., tiba-tiba saja Sang Nafs keluar dari CELUPAN ALLAH, Sang Muhith, sehingga Sang Nafs berhak untuk menyandang peran sebagai Khalifah Allah di muka Bumi. Sebagai Duta Istimewa Allah, sebagai tempat Allah untuk berkreasi dan membuat keramaian di MUKA BUMI INI. Akan tetapi, Duta Istimewa ini TETAP saja dipanggil oleh Allah dengan Sebutan An Naas, Si Insan, Si Nisyan, si Tidak Tahu, Si Kosong Melompong, Si Jahil, Si Bodoh, si Bolak-Balik (QALB).
Nah kalau diperhatikan dengan teliti, maka mana itu RUH yang keluar masuk. Ya…, adakah RUH yang keluar masuk dari Tubuh manusia itu ….???, MANA…??. Silahkan cari dan temukan posisi dalam pengertian ini …!!!. Sehingga sampai saatnya nanti kita tinggal hanya terheran-heran dan terkagum-kagum saja jadinya…!. Karena ternyata TIDAK ADA itu RUH yang keluar masuk NAFS itu. Tidak ada RUH yang ditiupkan kepada NAFS seperti bayangan kita saat meniup BALON, dan saat meninggal nanti lalu RUH itu ditarik kembali dari NAFS seperti kita mengosongkan BALON. Tidak…, sekali lagi TIDAK. Mau ditiupkan apanya wong Allah itu Maha Meliputi Segala sesuatunya, Dia Sang Muhith.
Subhanaka…, subhanaka…, subhanaka…, subhanaka…, Maha suci Engkau…!!!!
Apa Tugas Sang Khalifah….???
ugas Sang Khalifah itu sebenarnya sangatlah sederhana. Sang Khalifah hanya diminta untuk MENYADARI bahwa PADA HAKEKATNYA mendengarnya adalah dari Allah. Begitu juga dengan melihatnya, tahunya, bergeraknya, hidupnya, berfikirnya, merasanya, menciptanya, berperannya, dan sebagainya, semata-mata hanyalah sebagai kasih sayang dan rahmat dari Allah Sang Muhith itu saja. Ya…, apapun kebisaan dan kemampuan Sang Khalifah, maka pada hakekatnya Yang berperan itu adalah Sang MUHITH itu Sendiri, SANG DALANG.
Ya..., Sang Dalang lah yang menggerakkan wayang sesuai perannya masing-masing. Sang Dalang menggerakkan peran KURAWA dan peran PANDAWA lengkap dengan segala dinamika dan problematikanya. Pada hakekatnya, Dalanglah yang berbicara, yang mendengar, yang bergerak, yang hidup, yang tahu. Sedangkan Wayang hanyalah sekedar atau seakan-akan bisa berbicara, bisa berkelahi, bisa hidup, bisa tahu. Ya..., SEAKAN-AKAN bisa saja. Bisanya hanya pura-pura saja sebenarnya.
Lalu apa yang harus kita sombongkan….?
Pada saatnya nanti akan saya bahas juga bagaimana nantinya Sang Duta Istimewa ini Berkhianat kepada Tuhan dan apa akibat pengkhianatan itu terhadap Sang Duta istimewa itu sendiri. Insyaallah ulasan itu akan dimuat dalam beberapa serial artikel juga.
Sekarang mari kita kembali melihat beberapa pertanyaan dari Mas Tyas.
Dengan anugerah pengakuan yang diberikan Tuhan kepada Sang Nafs, lalu Sang Nafs mulai “mematut-matut” dirinya sendiri. Kemudian ada yang menemukan bahwa dirinya kok suka pada unsur yang sama dengan unsur-unsur dirinya sendiri, suka (punya kecenderungan, gharizah, hawa) kepada unsur tanah juga, seperti makanan, minuman, sandang, pangan, lawan jenis dari laki-laki ataupun perempuan, dan sebagainya. Penemuan terhadap dirinya ini lalu dia sebut bahwa pada dirinya ada RAGA. Ya nggak masalah, mau disebut apa itu dirinya yang suka pada unsur-unsur tanah sebagai makanannya itu. Tapi sebenarnya yang dia sebut sebagai Raga itu ya Nafs juga. Tak lebih. Dalam istilah Al qur’an Nafs yang punya kecenderungan Ragawi ini disebut sebagai NAFSUL AMARAH.
Ya…, nggak masalah juga kalau ada yang menyadari bahwa pada makanan yang dia makan itu ada unsur-unsur dari DIRI lain yang ikut termakan. Pada apa-apa yang kita makan, kita minum, kita hirup dalam pernafasan kita, pada dasarnya disitu ada unsur karbon, oksigen, nitrogen dan unsur-unsur lainnya yang berasal dari penguraian diri-diri lain yang sudah terurai kembali menjadi unsur-unsur pembentuk awalnya, mati. Apakah ini yang disebut reinkarnasi itu …??.
Namun sayangnya banyak kita manusia ini yang hanya sampai pada tahap menyadari bahwa diri kita hanyalah sebatas RAGA dengan segala kecenderungannya ini. Semua yang kita lakukan hanyalah demi pemenuhan, pemenuhan dan sekali lagi pemenuhan atas kebutuhan kecenderungan unsur ketanahan tadi. Kita hanya terpaku dan terpesona pada fenomena RAGAWI ini saja. Sehingga apa saja dinilai dan dihormati hanya berdasarkan karakter ragawi tersebut. Misalnya, rupawannya, atau kekayaannya, dan lain sebagainya. Sehingga kita nyaris tidak mampu lagi untuk menyadari bahwa RAGA ini tak lebih hanyalah “bentuk” yang diberi hidup, gerak, melihat, mendengar, bisa dan tahu oleh Sang Muhith. Makanya ada fasilitas musibah untuk menyadarkan kita kembali kepada PERAN Sang Muhith ini pada diri kita. Begitu ada melihat kita yang terganggu, sakit misalnya, maka kita baru sadar dan buru-buru berdo’a dan merintih merendah-rendah, Duh Gusti…, kembalikan melihat saya ya Gustiku. Namun sayangnya begitu melihat itu dialirkan kembali oleh Sang Muhith kepada kita, maka hampir seketika itu juga kita lupa kembali kepada peran Sang Muhith.
Fasilitas lain yang di sediakan oleh Allah untuk meredam sepak terjang ragawi ini adalah dengan puasa. Pada saat-saat tertentu, bulan puasa dan senin-kemis, misalnya, kita berpuasa. Tujuan puasa itu hanyalah agar setiap kali ragawi minta pemenuhan kebutuhannya, maka kita menyadarkannya kembali bahwa kita sedang berpuasa. Tapi seharusnya kita jangan hanya berhenti pada kesadaran bahwa kita sedang berpuasa ini. Kesadaran itu harus kita naikkan sampai kita bisa menyadari bahwa RAGA kita hanyalah benda mati yang berada dalam rengkuhan Sang Muhith sehingga dia bisa berperan sebagaimana mestinya. Lalu deeerrr.., muncullah rasa dirahmati dan disayangi oleh Sang Muhith itu. Subhanallah, alhamdulillah…!!!.
Kemudian dalam “mematut-matut” diri ini, ada juga yang menemukan bahwa pada dirinya ini kok ada unsur jiwa, ada sukma, yang punya kecenderungan lain dari unsur RAGA. Suasana Jiwa ini selalu saja terbolak balik. Suatu saat dia senang, suatu saat dia sedih. Suatu saat dia patuh suatu saat dia ingkar. Suatu saat dia iman dan bertaqwa, suatu saat dia fujur atau malahan kufur. Selalu saja terbolak balik begitu. Kalau kita hanya bisa menyadari diri kita sampai ke tingkat Jiwa ini, maka kita namanya terperangkap dalam diri yang punya kecenderungan terbolak balik. Al quran memanggilnya dengan si QALB, si bolak balik. Dalam bahasa Indonesia QALB ini lalu diistilahkan dengan HATI, JIWA, atau SUKMA. Padahal yang disebut sebagai HATI, JIWA, atau SUKMA itu ya NAFS juga. NAFS saja sebenarnya semua itu. Nafs yang suka pada yang indah-indah, suka pada yang baik-baik, suka pada kalimat-kalimat tauhid. Akan tetapi sekaligus juga suka kefujuran, dosa, dusta, marah, benci, iri, dengki. Ya…, dia si BOLAK BALIK. Kalau inputan yang masuk kepadanya membuat dia beriman, maka dia akan beriman dan bertaqwa. Akan tetapi kalau inputan yang masuk kedalamnya adalah rangsangan (ilham) tentang kefujuran, maka FUJUR lah dia, dia akan menebar keangkaramurkaan sepanjang hari-harinya. Suasana diri yang suka terbolak balik ini dalam Al qur’an disebut sebagai DIRI (NAFS) LAWWAMAH. Namun JIWA Lawwamah ini ada juga yang sudah tidak mampu lagi terbolak-balik, maka suasana Jiwa seperti ini disebut sebagai si mati hati, si gelap hati, si hati keras membatu, si tercover (si KAFIR).
SUASANA, POSISI, dan KEBERADAAN dari NAFS LAWWAMAH ini nyaris space less dan time less. Dia akan dapat merasakan suasana (getaran) JIWA-JIWA lain disekitarnya bahkan bisa merasakan suasana sampai jauh melampau ruang dan waktunya. Dan disini banyak sekali fenomena-fenomena yang muncul, sebut saja mimpi, psikik, sedikit diantara sekian banyak fenomena-fenomena supranatural lainnya yang bisa terjadi. Termasuk dalam hal ini adalah fenomena tentang CAKRA-CAKRA yang dikenal dalam agama Hindu, Tai Chi, tenaga dalam, dan lain-lain yang sejenisnya. Cakra-cakra ini kemudian dalam tasawuf disebut sebagai lathaif-lathaif yang harus di gempur terus dengan kalimat-kalimat dzikir agar bisa bercahaya. Ya…, disini adalah WILAYAH SERIBU FENOMENA.
Saat berbicara tentang JIWA, SUKMA, NAFS LAWWAMAH, saat berbicara SIFAT yang suka BOLAK BALIK (QALB), maka yang dibicarakan ya NAFS-NAFS juga sebenarnya. Tidak lebih. Lalu sayangnya, kenapa kita harus TERPAKU dan SIBUK TERUS pada NAFS yang suka bolak balik ini ?. Kenapa kita harus RIBET memenej-menej sifat ini (memanajemeni hati) ?. Kenapa kita harus TERSEKAT dalam pengembaraan mematut-matut posisi ini serta sibuk mencari dan memberi istilah-istilah atas fenomena yang terjadi didalamnya…?. Sehingga kita LUPA bahwa semua itu hanyalah FASILITAS yang ADA karena DIADAKAN oleh Sang Muhith untuk kita. Kita lupa menyadari bahwa tempat kita yang hakiki bukanlah disitu. Dimana dong…?.
Selanjutnya lagi, dalam “mematut-matut” diri ini, ada juga yang menemukan bahwa pada dirinya ini selain suasana jisim (raga), suasana jiwa (sukma, atau qalb) yang masih sering terbolak balik tadi, ada juga suasana atau wilayah lain yang karakteristiknya sudah TENANG, LUAS TAK TERHINGGA, UNIVERSAL. Dalam wilayah ini sudah tidak ada lagi rasa takut dan rasa khawatir (la khaufun ‘alihim walahum yah zanun). Wilayah ini dalam istilah al qur’an disebut sebagai wilayah NAFSUL MUTHMAINNAH (Wilayah Jiwa Yang Tenang). Diwilayah ini ada sensasi atau fenomena kesyurgaan, ada sensasi bersatunya antara kesadaran dengan SATU KELUASAN YANG MELIPUTI SEGALANYA. Ada yang menamakan wilayah ini dengan Jiwa Rahsa (nirmawa), Jiwa Spiritual, Jiwa Kosmik (lubbiyaah), silahkan saja. Begitu tenangnya wilayah ini sehingga seringkali membuat kita tidak ingin berbuat apa-apa, semua begitu tenang, damai, luas tak terhingga. Tapi wilayah inipun tak lain dan tak bukan adalah NAFS-NAFS juga. Tak lebih. Lalu apakah memang disini tempat kembali kita yang hakiki …??. Ah…, semakin menarik saja untuk dikupas.
Eeee…, Wait…, tunggu dulu. Ini siapa yang mematut-matut Nafs tadi…??. Yang mengamati dan TAHU wilayah-wilayah Nafs tadi. Ternyata ADA SATU WUJUD yang TAHU, yang Mengamati, yang Mematut-matut DIRI NYA sendiri (NAFS).
Wujud Satu Yang Tahu itu, Yang Mengamati itu, menamakan dirinya dengan:
Aku…, Aku…, Ana…, Ingsun…, Yang Tahu… !!!.
Lalu ada apa dengan NYAWA … ?,
Apakah NYAWA itu sama dengan RUH…?
Siapa yang disiksa…?,
Apa ada siksa diakhirat itu…, dan seperti apa akhirat itu …?,
Siapa yang dimasukkan ke syurga …?,
Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaha illallah, Allahu Akbar. Ternyata begitu gamblangnya sekarang pengetahuan tentang ini Engkau tampakkan ya Allah.
Nyawa…
Nyawa ternyata adalah sebentuk ACTION (GERAK) yang menyebabkan NAFS, TUBUH MANUSIA (RAGA) yang berasal dari tanah itu bisa HIDUP dan BERGERAK. Action itu hanyalah berupa ALIRAN HIDUP, ALIRAN GERAK yang tentu saja berasal dari Sang Muhith. Sama saja dengan aliran-aliran lain yang juga berasal dari Sang Muhith yaitu aliran Melihat, Mendengar, Tahu yang terkumpul dalam satu wujud yang menyebut Jati Dirinya sebagai Aku, atau kadang disebut oleh pemiliknya sebagai RUH-KU. Tapi yang dimaksud Aku atau RUH-KU itu ya itu-itu juga. Nafs dengan aliran-aliran yang tadi itu lalu dicabut dari TUBUH RAGA, dan kemudian berpindah kealam lain yang tidak sama dengan alam tubuh raga (saripati tanah). Alam yang bukan terbentuk dari saripati tanah ini lalu disebut sebagai Alam Mahsyar, Alam Kubur, Alam Akhirat. Saat nyawa ini diambil oleh yang punya, Sang Muhith dari tubuh, maka tubuh itu dikatakan MATI. Tidak ada Hidup lagi. Tapi ada Nafs yang tetap hidup, yaitu Nafs yang sudah berpindah ke Alam Mahsyar tadi.
Sedangkan Nafs yang tidak berpindah alam, yaitu Tubuh raga yang terbuat dari saripati tanah akan HANCUR dan kembali ketanah. Ya…, tubuh raga ini akan terurai kembali menjadi unsur-unsur saripati tanah yang pada saat yang tepat dan komposisi yang tepat lalu dibentuk lagi menjadi makhluk lain yang juga berasal dari unsur-unsur saripati tanah, misalnya menjadi tumbuhan, menjadi hewan, bahkan menjadi tubuh manusia kembali. Atau bisa juga menjadi unsur makanan, minuman, dan udara yang dipakai kembali oleh tubuh-tubuh lainnya yang masih hidup. Begitulah berputar terus membentuk lingkaran kehidupan alam ketubuhan. Namanya juga sari pati tanah, ya tentu saja bisa dibentuk dan diciptakan kembali dalam bentuk yang dikehendaki oleh Sang Muhith, Yang Maha Mencipta. Lalu mungkin ada yang menyadari tentang adanya lingkaran perubahan dan perpindahan unsur-unsur tanah ini dari satu bentuk kebentuk lain dan menyebutnya sebagai proses reinkarnasi. Ya monggo-monggo saja. Karena pada hakekatnya yang diperhatikan adalah NAFS juga.
Yang Disiksa dan Yang Masuk Syorga itu wujud yang mana…?
Yang disiksa ya…, Si Nafs juga, tapi nafs yang belum melepaskan keakuannya sampai ke wilayah Nafsul Muthmainnah. Jadi semasa nyawa masih di badan (RAGA), Sang Nafs tidak mau melepaskan keakuannya dari wilayah Nafsul Ammarah maupun Nafsul Lawwamah, sehingga Sang Aku, Yang Tahu, lalu mengalirkan kepada Sang Nafs tersebut berbagai siksa maupun kenikmatan silih berganti yang sangat tergantung kepada posisi pengembalian keakuan Sang Nafs semasa hidupnya. Kalau semasa hidup Sang Nafs lebih banyak banyak tersangkut diwilayah angkara murka, maka dialam mahsyar atau dialam kubur Sang Nafs juga akan dialiri buah dari keangkaramurkaannya itu dalam bentuk keangkramurkaan pula yang datang membalik kepadanya. Dalam bahasa agamanya balasan yang buruk ini lalu disebut sebagai SIKSA NERAKA. Begitu juga jika semasa hidup Sang Nafs sudah lebih banyak tersangkut di wilayah kepatuhan dan ketaqwaan, maka di alam mahsyar Sang Nafs akan dialiri pula buah ketaqwaan dan kepatuhannya itu dalam bentuk kenikmatan yang mengalir balik kepada Sang Nafs. Dalam bahasa agama balasan yang baik ini disebut sebagai NIKMAT SYURGA. Dan balasan-balasan atas perbuatan di dunia itu menurut al qur’an adalah Hum fiha khaalidun, ABADI, KEKAL SELAMA-LAMANYA.
Ada Nafs yang semasa masih hidupnya di dunia ketubuhan (RAGA) sudah menyadari bahwa posisi yang paling bagus itu adalah posisi dengan SUASANA TENANG, LUAS, UNIVERSAL. Nafs yang sudah mengenal alam yang tenang ini lalu disebut sebagai NAFSUL MUTHMAINNAH. Semasa hidup di dunia itu Sang Nafs sudah sering berada di wilayah ketenangan ini, sehingga saat nyawa (gerak, hidup) diambil kembali oleh Yang Punya (Sang Muhith) dari Tubuh (raga), dan saat Sang Nafs itu mau dipindahkan ke Alam Mahsyar, Sang Nafs lolos keposisi yang sudah pernah dia kenal sebelumnya, yaitu Alam KETENANGAN. Ya…, Sang Nafs lolos menuju alam yang tidak ada kekhawatiran dan ketakutan didalamnya. Alam tempat NAFSUL MUTHMAINNAH ini dikembalikan disebut juga SYURGA. Dan Sang Nafs itu KEKAL didalamnya.
Jadi Yang disiksa di NERAKA itu siapa…??, ya…, NAFS.
Yang masuk Syurga itu siapa…?, ya…, NAFS juga.
Seperti apa Alam Mahsyar atau Alam Akhirat itu…?, ya ndak tahu.
Seperti apa Neraka dan Syurga itu…?, ya ndak tahu.
Seperti apa “tubuh” NAFS itu nanti di Neraka atau di Syurga…?, ya ndak tahu juga.
Pokoknya semua TIDAK sama dengan apa yang kita pikirkan, apa yang kita bayangkan, dan kita idam-idamkan. TIDAK SAMA. Semua melebihi persepsi apapun yang pernah ADA.
TEMPAT KEMBALI NAFS…
Lalu apakah kalau sudah meninggalkan kita akan masuk ke Syurga…?, ya ndak tahu.
Atau apakah kita kalau sudah meninggal akan masuk ke Neraka…?, ya ndak tahu juga.
Kalau kabur dan tak pasti begitu…, lalu bagaimana….???
Kemana tempat kembali Sang Nafs setelah berpindah dari alam Dunia ke alam Akhirat sangat-sangat tergantung pada saat-saat TERAKHIR Sang Nafs Akan berpindah Alam itu. Jika pada saat-saat terakhir meregang nyawa tersebut Sang Nafs masih digandoli dan terikat dengan alam-alam keangkaramurkaan, maka boleh jadi di alam akhirat Sang Nafs juga akan masuk ke alam keangkaramurkaan, yaitu Neraka. Sebaliknya jika pada saat-saat nyawa hendak meninggalkan badan Sang Nafs bisa LOLOS menuju Alam Yang TENANG, LUAS, UNIVERSAL, maka boleh jadi Sang Nafs akan DIPANGGIL dan DIRENGKUH oleh Tuhan (irji’ii ilaa rabbiki) untuk dimasukkan kedalam SYURGA bersama-sama dengan Nabi-Nabi dan nafs-nafs soleh lainnya.
Oleh sebab itu kita WAJIB khawatir dalam menanti dan menghadapi saat-saat terakhir lolosnya Nafs untuk berpindah dari alam dunia ketubuhan (raga) menuju Alam Akhirat. Sekali arahnya melenceng, maka melencengnya akan ABADI. Sungguh memiriskan Hati …!!!.
YANG KEMBALI KE TUHAN …
Apa yang kembali ke Tuhan…???, ini pertanyaan yang sering kita meraba-raba selama ini.
Yang kembali ke Tuhan yaa…, apa-apa yang milik Tuhan. Apa itu…?
Hidup…!!. Hidup adalah milik Tuhan, maka pada saatnya Tuhan mengambil kembali Hidup itu dari Nafs (Tubuh Raga).
Melihat… !!!. Melihat adalah milik Tuhan, maka pada saatnya Tuhan mengambil kembali Melihat itu dari Nafs (tubuh Raga)
Mendengar …!!. Mendengar adalah milik Tuhan, maka pada saatnya Tuhan mengambil kembali Mendengar itu dari Nafs (tubuh Raga)
Tahu…!!!, Tahu adalah milik Tuhan, maka pada saatnya Tuhan mengambil kembali Tahu itu dari Nafs (tubuh Raga).
Gerak…!!!. Gerak adalah Milik Tuhan, maka pada saatnya Tuhan Mengambil kembali Gerak itu dari Nafs (tubuh Raga).
Kalau diringkas, Hidup, Melihat, Mendengar, Tahu, dan Gerak itu, adalah Milik Aku semuanya. Maka Allah menyebutnya sebagai RUH-KU atau disingkat saja menjadi Aku. Aku kembali kepada pemilik-Ku, yaitu Allah. Karena Aku telah menyempurnakan tugas-Ku pada Nafs si Yusdeka yang terbuat dari Tanah.
Makna Innalillahi wa inna ilaihi raji’un itu adalah.: Hidup, Melihat, Mendengar, Tahu, Bergerak, kembali Aku ambil dari NAFS (tubuh raga, jisim si Yusdeka), karena semua adalah milik-Ku. Sehingga Nafs Yusdeka yang asalnya dari tanah kembali kepada asalnya, TANAH. Nafs Yusdeka yang dari tanah kembali menjadi benda mati, kembali menjadi wayang yang tidak punya peran apa-apa. Tidak Hidup, Tidak Bergerak, Tidak Melihat, Tidak Mendengar, Tidak Tahu, Tidak Bergerak. DIAM, SUNYI, SENYAP.
Akan tetapi Peran Nafs si Yusdeka itu tidak terhenti hanya pada saat masih berupa Tubuh Raga. Saat berupa Tubuh Raga (ya Nafs juga namanya), si Yusdeka diharapkan bisa merangkai kehidupannya untuk sebuah kehidupan abadi di alam akhirat nanti. Karena kehidupan yang sebenarnya adalah di alam akhirat itu. Abadi dan kekal selama-lamanya disitu. Oleh sebab itu Allah menurunkan Nabi-nabi dan kitab-kitab Suci sebagai pembimbing dan guidance buat kita selama merangkai jalan hidup tersebut. Bahkan Allah selalu menyempurnakan Raga itu setiap saat sebagai fasilitas bagi Nafs si Yusdeka untuk melakukan peran. Kalau Raga itu luka atau sakit, maka raga itu kemudian di sempurnakan kembali. Begitu peran merangkai kehidupan di dunia ini sebagai bekal untuk kehidupan Akhirat sempurna, maka Tubuh Raga yang dari tanah itu tidak diperlukan lagi. Tugas Nafs dalam bentuk tubuh Raga sudah sempurna. Nafs akan ditempatkan pada alam abadi, yaitu alam Akhirat.
Lalu Aku membawa Nafs si Yusdeka itu masuk ke alam akhirat. Hidup, melihat, mendengar, tahu, dan gerak tetap Ku alirkan kepada Nafs Yusdeka agar si Yusdeka bisa merasakan, melihat, mendengar, dan tahu atas HASIL dan BUAH dari kehidupan yang dia rangkai selama di dunia. Seperti apa bentuk Nafs Yusdeka yang sudah berpindah alam dari alam dunia ke alam akhirat itu…??, ya.. ndak tahu saya.
Aku pula yang membawa Nafs si Yusdeka untuk masuk neraka atau syurga. Aku alirkan hidup, mendengar, tahu, gerak kepada Nafs si Yusdeka di Neraka dan di Syurga agar dia bisa merasakan pedihnya siksa Neraka dan Nikmatnya anugerah Syurga. Sedang Aku tidak pernah tersiksa oleh neraka itu, dan Aku tidak pernah pula bahagia dengan Syurga itu, karena Neraka dan Syurga itu ada dalam Liputan-Ku. Di dalam Aku semua-nya itu.
SEDIKIT BUKTI …
Bagi yang sering bermimpi buruk, misalnya dikejar-kejar anjing, dikejar orang jahat, atau berada ditempat yang mengerikan. maka suasana mimpi itu bisalah dijadikan sebagai bukti adanya ALAM SIKSA diluar kesadaran TUBUH ini. Walaupun tubuh kita tidak sadar karena tidur, akan tetapi kita masih dapat merasakan siksaan ketakutan itu. Mimpi itu mungkin hanya terjadi sebentar (mungkin hanya beberapa menit) saja, akan tetapi rasa sakit, rasa nyeri, rasa takutnya sangat melelahkan sekali. Untuk keluar dari ruangan penyiksaan di alam mimpi itu alangkah sulit dan beratnya. ANDAIKAN saat bermimpi itu Hidup (nyawa) kita diambil oleh Allah, maka kita boleh jadi kita akan tersesat diwilayah mimpi itu seterusnya. Karena Allah itu memang berbuat sekehendak-Nya saja. Kita lagi enak-enak duduk atau tidur, eh… hidup kita diambil. Kita lagi bercengkrama bergembira ria, eh… hidup kita diambil juga.
Eh…, kok ada Yang Tahu bahwa kita tadi bermimpi ya…??.
Satu Diri Dengan Selusin Julukan ...
Kalau diperhatikan dalam terminologi Al Qur'an, Allah memanggil NAFS (Diri) manusia ini dengan berbagai panggilan dan julukan. Ya..., satu diri dengan berbagai julukan, misalnya:
• • Si Ammarah, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya masih sering ditarik oleh dorongan-dorongan unsur-unsur ketanahannya.
• • Si Mati Hati, Si Gelap Hati, Si Pencuri, Si Pezina, Si Tersiksa...!!!.
• • Si Kafir, si Fujur, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya atau keadaanya dirinya TERTUTUP (ter-cover, terhijab) untuk menyaksikan kebesaran TUHAN, dan TERTUTUP pula untuk menerima Tuhan sebagai tempat / tujuan pengembalian segala sesuatunya.
• • Si Beriman, Si Bertaqwa, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya sudah mendapatkan pencerahan dari Tuhan-Nya untuk menerima Islam, dan diberi CAHAYA DADANYA oleh Tuhan-Nya. Ya..., cover-nya sudah terbuka, sehingga mampu melihat yang Nyata, Yang Hakiki.

• Si Qalb, atau disebut juga si HATI, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya suka terbolak balik. Kadang baik, kadang buruk. Kadang iman, kadang kufur. Kadang taqwa, kadang fujur.
• Atau ada juga Si Qalbun Salim, Si Penikmat Syurga, dan segudang julukan lainnya.
• Si Lawwamah, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya sudah sering menyesali apa yang tidak baik, tapi masih saja suka terbolak balik antara yang baik dan yang buruk.
• Si Muthmainnah, yaitu si NAFS tadi yang sifatnya sudah berada pada posisi ketenangan, keluasan, keuniversalan. Si NAFS ini sifatnya sudah tidak seperti Si QALB lagi. Tidak punya HATI lagi dia. Ya..., Nafs ini sudah tidak merasakan rasa takut dan khawatir lagi.
Sebenarnya, yang dipanggil dengan julukan sangat beragam itu ya si NAFS tadi juga. Sedangkan julukannya itu hanyalah untuk menandakan sebuah "sifat, suasana, atau ruangan" (MAQAM) yang sudah dicapai oleh si Nafs itu tatkala tengah merangkai peran (AMAL) dalam kehidupannya di alam dunia ini. Nantinya pencapaian Maqam si NAFS di alam dunia inilah yang akan dipakai seterusnya oleh si NAFS di alam akhirat. Ya..., kehidupan dialam dunia ini hanyalah sebuah KEPOMPONG untuk mengantar si NAFS "bertansformasi" dari wujud yang "serba tanah" menjadi wujud "kupu-kupu Akhirat", sebuah wujud yang akan mengarungi kehidupan yang ABADI, kekal selama-lamanya di akhirat sana. Dan PENCAPAIAN Maqam itu sangat-sangat tergantung kepada pilihan peran (amal) yang di ambil oleh si NAFS itu sendiri saat hidup di dunia, saat dia bertransformasi. Karena Tuhan memang telah memberikan anugerah tertinggi untuk si NAFS untuk mengaku sebuah peran dan untuk memilih Maqam atas Perannya itu yang dia inginkan dari sekian banyak pilihan yang telah difasilitasi Allah.
Di atas itu semua, tentu saja yang paling penting, adalah atas adanya RAHMAT dan KARUNIA dari Tuhan kepada si NAFS itu sendiri. Untai dan rangkailah Peran kita itu sampai si Nafs bisa bertransformasi mencapai Maqam Nafs Tertinggi (si Muthmainnah) dalam bingkai RAHMAT dan KARUNIA Tuhan. Maqam itu bukanlah semata karena amalku, bukan karena bisaku, bukan karena usahaku, bukan pula karena aku si Nafs, tetapi semua itu hanyalah karena kasih sayang dari Tuhanku kepadaku. Rajutlah amal itu dalam "sapaan, sentuhan, dan tuntunan" Tuhan, Sang Muhith, sampai copot pengakuan si Nafs, maka pada saatnya kita akan bersyukur tak henti-hentinya, selama-lamanya, baik didunia ini maupun diakhirat ......!!. Tapi kalau tidak, maka siap-siaplah kita untuk dirundung sesal yang tiada terkira...!.
Sedangkan RUH, MIN-RUHI, Aku, BASHIRAH, yang merupakan satu wujud (AHAD) dengan berbagai panggilan juga, selalu dan akan selalu MENGANTAR sang Nafs selama proses transformasi "wujud tanah" tersebut sampai menjadi wujud "kupu-kupu akhirat". RUH inilah yang akan memberikan aliran Hidup, Melihat, Mendengar, Bergerak, dan Tahu bagi Sang NAFS atas peran yang dilakukannya dan Maqam yang diraihnya selama proses transformasi itu. Dan RUH itu jugalah yang akan Mengantar si kupu-kupu Akhirat untuk mengarungi alam Akhirat untuk merasakan buah dari Peran dan Maqam yang dicapainya selama di dunia. RUH itu akan ABADI mengantar sang NAFS. Karena RUH itu memang berasal dari Sang MUHITH, SANG MAHA MELIPUTI. ABADI liputan-Nya itu terhadap segala sesuatu. Jadi TIDAK ADA RUH itu yang keluar masuk sang Nafs. TIDAK....!
SEBENTUK SARAN SAJA…
Oleh sebab itu sering-seringlah kita melatih pengembalian keakuan kita kepada Aku yang sebenarnya. Saat masih di posisi Nafsul Ammarah maupun Nafsul Lawwamah janganlah mengaku-ngaku. Begitu juga dalam posisi Nafsul Muthmainnah, walaupun mengaku dalam posisi muthmainnah ini sudah jauh lebih baik, akan tetapi cepat-cepatlah kembalikan pengakuan itu kepada Aku yang hakiki. Sehingga tidak ada lagi pengakuan dan kesombongan yang menggandoli diri (nafs) kita. Biarkanlah Sang Aku Yang Hakiki itu yang mengaku-ngaku:
Ana…, Ana…, Aku…, Ingsun…, Yang Tahu …!!!
Melatihnya bisa saat-saat akan tidur, atau yang terbaik adalah saat kita sedang mendirikan SHALAT. Atau pada waktu-waktu lainnya. Terserah kita saja sebenarnya.
Hei mata, bukan engkau yang melihat, tapi Aku yang Melihat itu … deeer.
Hei telinga, bukan engkau yang mendengar, tapi Aku yang Mendengar… deeer.
Hei otak, bukah engkau yang tahu, tapi Aku yang Tahu itu … deeer.
Hei tubuh, bukan engkau yang hidup dan bergerak, tapi Aku yang Hidup dan Bergerak itu … deeer.
Hei Nafs, bukan engkau yang nyata dan berperan itu , tapi Aku lah yang nyata dan berperan .… deeer.
Kalau sudah ketemu Aku ini dengan BENING, hanya ada Aku yang tersisa sekarang, maka tinggal selangkah lagi. Jangan diaku Aku itu. Jangan Diaku. Karena kalau diaku, maka Aku itu kembali akan menjadi sempit. Biarkanlah Aku itu meng-Aku-Aku Sendiri.
Ana…, Ana…, Aku…, Ingsun…, Yang Tahu …!!!
Siapa yang Ada…???. Ya… Aku !
Siapa yang Hidup… ???. Ya … Aku.
Siapa Yang Melihat …??, Ya … Aku
Siapa Yang Mendengar …???, Ya … Aku.
Siapa Yang Tahu… ???, Ya … Aku.
Siapa Yang Bergerak …??, Ya Aku.
Kamu di mana wahai Nafs, wahai Yusdeka …?, Ya… Tiada, Fana, PINGSAN.
Subhanallah,
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah,
Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem,
Inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad ....
Selamat mencoba…!!!
"Mas Tyas, ataupun rekan-rekan yang lain yang saya hormati.
Dengan pemahaman seperti ini, masih relevan kah konsep reinkarnasi untuk diperbincangkan ataupun dipakai ...??,
Ahh..., semua tergantung kita saja sebenarnya. Kalau saya pribadi sih..., saya akan ambil konsep yang paling sederhana saja. Karena saya senang pada hal-hal yang sederhana saja, tetapi sederhana yang mendasar. Tidak membuat otak saya mumet. Dulu otak saya sering mumet dengan berbagai konsep, makanya rambut saya rontok hebat he he he he....
Selamat kembali menjadi FITRAH di bulan Ramadhan yang penuh berkah Ilahi ini.
Mohon Maaf lahir dan batin."
Wallahua’lam.
Wassalam
DEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar